Benarkah Hari Jadi Bojonegoro 20 Oktober (1677) ?

TeropongDesa.com – Runtuhnya MATARAM ISLAM diawali wafatnya Sultan Agung Hanyokrokusumo yang memimpin kerajaan (1613 – 1645). Kekuasaan diteruskan oleh putranya yang bergelar Susuhunan Amangkurat I yang loyal terhadap VOC. Amangkurat I kemudian meninggal pada 1677 dimana penguasa Mataram terus silih berganti. Periode 1645 sampai 1677 terjadi perpecahan dalam keluarga Mataram. Momentum itu dimanfaatkan VOC untuk menguasai Mataram, pada 1830 Mataram sepenuhnya dapat ditundukan.

Dikutip dari website ppid.bojonegorokab yang berbunyi: “….Perjanjian tahun 1677 merupakan kekalahan politik berat bagi Mataram terhadap VOC. Oleh karena itu, status kadipaten pun diubah menjadi kabupaten dengan wedana Bupati Mancanegara Wetan, Mas Toemapel yang juga merangkap sebagai Bupati I yang berkedudukan di Jipang pada tanggal 20 Oktober 1677. Maka tanggal, bulan dan tahun tersebut ditetapkan sebagai HARI JADI KABUPATEN BOJONEGORO”.

Cukup menarik alasan yang dijadikan dasar penetapan HARI JADI untuk kita diskusikan bersama, kita awali dengan pembahasan Jipang. Dalam Babad Tanah Djawi, kekuasaan di Jawa diambil alih oleh Pajang dari Demak di pertengahan abad ke-16, dan keturunan terakhir dari keluarga kerajaan Dëmak yang melawan raja Padjang adalah Arya Panangsang yang dikenal dengan nama sang Adipati Djipang.

Penelitian J Noorduyn (peneliti Belanda) Jipang sering berganti nama disertai pemindahan ibukota di tempat lain. Jipang tidak hanya berpindah ke Padangan pada bulan Januari 1814, tetapi juga pada Januari 1816 ibukota Jipang juga pernah pindah di Bowërno (Baureno). Menurut data Raffles, pada tahun 1815 Jipang terdiri dari: 6 distrik : Panolan, Padangan, Radjëg-wësi, Sëkarang, Bawërno dan ‘Jenawun’ (Tinawun). Eksistensi Jipang Padangan juga Jipang Bowerno terekam jelas pada peta Jawa yang dikeluarkan Raffles, juga pernah berpindah di desa Pellem di sebelah kiri kali Gandong.

Jipang tahun 1358 dengan Djipang ulu atau Djepang, Djepan-Panoulang versi Hurdt tahun 1678 dengan Panolan dan awal abad ke-19 Jipang dengan Djipang di Kali Gandong. Masih ada desa Djipang atau Djipang-pasar saat ini (Cepu), di sisi lain ada Djipang abad ke-16 yang terkenal seperti yang disebutkan dalam tulisan sejarah Jawa. Jelas sekali Jipang bisa didiskusikan ulang BUKAN murni sebagai bagian dari administrasi pemerintahan Bojonegoro sekarang maupun masa lampau.

Begitupun juga wilayah Mancanegara, adalah sistem pemerintahan Mataram Islam diluar wilayah yang disebut Keraton dan Kutanegara yang terbagi Mancanegara wetan dan kulon masing-masing dikepalai oleh seorang bupati atau lebih, dalam Surat Pustaka Radja Purwa disebut wedana. Mereka biasa berpangkat tumenggung atau raden arya. Para bupati Mancanegara berada di bawah pengawasan seorang wedana bupati mancanegara. Pada tahun 1677 Mas Tumapel yang semula menjabat sebagai bupati Gresik kemudian diangkat menjadi bupati Mancanegara dan berkedudukan di Jipang, terkenal dengan Adipati Jipang. Adapun tugasnya ialah mengepalai dan mengkoordinasikan bupati-bupati Mancanegara. Dapat disimpulkan BUKAN jabatan Bupati khusus Bojonegoro masa lampau maupun saat ini.

Bahkan Ngayogyakarta (Kota Yogyakarta) konon sebagai pemilik Negeri Mantjanegara wetan menahbiskan HARI JADI pada 1755 yakni pada tahun Perjanjian Giyanti. Yogyakarta saat ini berusia jelang 266 tahun pada 7 Oktober (1755), usia lebih muda dari Bojonegoro yang saat ini berusia 345 tahun.

HARI JADI BOJONEGORO sebenarnya sudah terdokumentasi dengan jelas dan akurat. Berawal dari Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830), terjadi pemberontakan besar-besaran di Karesidenan Rembang, yang dianggap oleh Belanda sebagai salah satu daerah yang paling sulit untuk ditaklukan. Pemberontakan ini berlangsung dari 28 November 1827 hingga Maret 1828 dan dipimpin oleh Raden Tumënggung Sasradilaga, adalah putra mantan Bupati Radjëg-wësi yang digulingkan oleh Belanda sekaligus saudara ipar Diponëgoro. Ibukota kabupaten telah dikuasai untuk beberapa waktu, dan setelah itu dikuasai kembali oleh Belanda pada 26 Januari 1828, kemudian diputuskan oleh pemerintah Belanda untuk memindahkan ibukota untuk alasan keamanan.

Melalui Dekrit keputusan tertanggal 27 Februari 1828 (Besluit No.2), ibu kota baru dipindahkan di desa Kebo Gadung di tepi kanan Sungai Solo, sekitar 5 km di sebelah utara dari Ngumpak. Pusat baru itu pertama kali disebut the new Radjëg-wësi, tetapi atas permintaan Bupati, nama kabupatennya dan ibukota barunya diubah menjadi Bodjanegara dengan keputusan tanggal 25 September 1828 (Besluit No.14). Asisten Residen Radjekwessie pada waktu itu mengartikan Bodjonegoro sebagai berikut “Bodjo. . . artinya: makhluk yang baik hati, menerima dengan baik, dengan demikian memenangkan kasih sayang, dan Negoro . . . bukan berarti negara tapi… tempat utama”. Dari runtutan inilah Kabupaten Bodjanëgara terbentuk. Akibat perkembangan tersebut, nama lama Djipang menghilang dari kabupaten ini dan tetap dipertahankan sebagai nama Desa (‘Djipang-pasar’) terbentang di sisi barat Sungai Solo, di District Panolan yang dahulu menjadi bagian dari Kabupaten Blora.

Dalam majalah Algeemen handelsblad voor Nederlandsch Indie terbitan 21 September 1928 mengulas satu halaman penuh ‘’Peringatan HARI JADI BOJONEGORO yang ke-100 tahun, dimana Kabupaten ini sejak 1828-1928 sudah dipimpin enam Bupati termasuk Bupati sekarang (1928) Raden Adipati Aryo Kusumoadinegoro“. Jelas bahwa eksistensi Bodjonegoro, yang merupakan nama kabupaten ini tidak lebih tua dari tahun 1828, dalam sejarah kuno Radjegwesi dan massa sebelumnya disebut Djipang” (Noorduyn 1968:473-478). Banyak alasan atau dasar ataupun motif politik untuk menentukan HARI JADI BOJONEGORO, akan tetapi kutipan diatas bisa menganalogikan Kabupaten Bodjonegoro lahir 1828 (25 September 1828) dan saat ini berusia 194 tahun. SELAMAT HARI JADI BOJONEGORO

*fanani pelbagai sumber

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *