Ini Fakta Pembangunan Bojonegoro Sejak Penjajahan

TEROPONGDESA – Pembangunan Infrastruktur bukan hal baru di Bojonegoro. Pembangunan terus berlangsung
dan berkelanjutan semakin baik, JASMERAH.

Kejayaan Bojonegoro ‘Tempo Doeloe’ yang kaya sumber daya alam Jati dan Tembakau. Sekarang ini kaya akan MIGAS tak mengherankan jika
aktivitas pembangunan saat ini makin pesat. Sekali lagi hal itu sejatinya biasa-biasa mawon. Kok bisa?

Ya,karena jika ditilik dari Teori Ilmu Ekonomi, infrastruktur itu artinya wujud
modal publik (public capital) yang terdiri dari jalan umum, jembatan, sistem saluran
pembuangan, dan lainnya, sebagai investasi yang dilakukan oleh pemerintah.

Nah supaya tak mudah ‘gawok’ alias ‘nggumun’ bin terbelalak, maka itu mari kita telisik pembangunan Bojonegoro kita dari zaman penjajahan Belanda.

Pada tahun
1901, Hindia Belanda mengadopsi apa yang mereka sebut sebagai Politik Etis, dimana
pemerintah kolonial memiliki tugas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat ‘pribumi’
dalam bidang kesehatan dan pendidikan.

Langkah-langkah baru lainnya di bawah kebijakan
tersebut mencakup program irigasi, transmigrasi, komunikasi, mitigasi banjir, industrialisasi dan
perlindungan industri pribumi.

Industrialisasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
mayoritas penduduk pribumi (baca:Nusantara/Indonesia) ketika itu. Pasalnya pribumj tetap saja merupakan koloni yang bergantung
pada pertanian.

Belanda sebagai subjek penjajah Nusantara mereka perlu “balas budi” kepada PRIBUMI,
dikerenakan alam Nusantara sudah banyak dikeruk untuk kebutuhan Negeri Belanda.

Alasan
lainnya, kolonial melakukan hal tersebut dikarenakan dasar-dasar pelaksanaan pemerintahan Hindia
Belanda bersumber pada Undang-Undang Dasar (Grondwet) Negeri Belanda tahun 1922, yang
kemudian berturut-turut diperbaiki melalui amandemen-amandeman 1929, 1935 dan terakhir
1938.

Menurut Undang-Undang tersebut, Hindia Belanda (baca: Indonesia) menjadi bagian dari
Kerajaan Belanda yang mencakup daerah-daerah Negeri Belanda, Hindia Belanda, Suriname
dan Curasao.

Politik Etis berakhir ketika Belanda menyerah dari Jepang tahun 1942 dalam
Perang Asia Timur Raya atau Perang Dunia Kedua.

Dalam catatan sejarah, Politik Etis adalah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah kolonial Hindia Belanda sejak 17
September 1901.

Politik Etis disebut pula sebagai politik balas budi. Tokoh Belanda bernama C. Th. Van Deventer
memprakarsai digagasnya Politik Etis sebagai bentuk balas budi kepada rakyat pribumi.

Politik Etis berakhir ketika Belanda menyerah dari Jepang tahun 1942 dalam Perang Asia Timur
Raya atau Perang Dunia Kedua.

Rangkuman di bawah ini hanya bersifat secuil infrastruktur, tentunya masih banyak lagi yang
perlu diulas seperti; jembatan Kaliketek, berbagai jalan poros jembatan dari Babat sampai
Cepu,dan seterusnya.

Berikut ini adalah secuil versi penulis rangkuman peninggalan Hindia Belanda yang masih bisa dijumpai
ataupun yang sudah hilang jejak-jejak infrastrukturnya, yakni:

1. REGENTSCHAPSRAADHUIS BODJONEGORO
Disebut Gedung Dewan Kabupaten dimana era itu Hindia Belanda menerapkan sistem
pemerintahan Regentchap (Kabupaten), Pemerintah kabupaten terdiri dari: Regent (Bupati),
bupati diangkat oleh G.G (Governour General), ia menjadi ketua dari DPRK dan ketua
merangkap anggota dari College van Gecommitteerden.

Ia juga mempunyai tugas melakukan
verordeningen dan keputusan DPRK oleh karena itu Bupati adalah alat kabupaten (Daerah)
dan alat pusat.Regentschapsraad sendiri bermakna DPR Kabupaten atau DPRD.

Mengutip literatur LOCALE TECHNIEK TECHNISCH ORGAAN VAN DE VEREENIGING
VOOR LOCALE BELANGEN Infrastruktur ini dibangun dengan biaya kabupaten sendiri dengan anggaran senilai, f-42.000 (mata uang Gulden) dengan luasan Gedung 650 meter persegi.

Dalam literatur disebutkan pembangunan gedubg diarsiteki oleh Bruno
Nobile de Vistarini, seorang insinyur tehnik berkebangsaan Austria dan diresmikan 6 April 1933.
Disebutkan juga Gedung tersebut terletak di Timur alun-alun Kota Bodjonegoro.

2. Waduk Pacal
Berlokasi di Desa Kedungsumber, Kecamatan Temayang. Infrastruktur ini masih berdiri
megah hingga saat ini.

Waduk ini adalah bagian terpenting pada masa Mega
Proyek ‘Solo Valley Werken’.

Mengutip surat kabar ‘De Indische Courant’ pembukaan Waduk Pacal
pada 27 April 1933 oleh Direktur B.O.W (semacam dinas PU), Gubernur Jawa Timur dan
Bupati Bojonegoro pra kemerdekaan kaka itu.

3. Bendungan Sukosewu
Berlokasi di Kecamatan Sukosewu, Infrastruktur ini juga masih difungsikan sampai saat ini.

Dikutip De Indische Courant, bendungan ini menghabiskan f-350.000 (mata uang Gulden)
dan diarsiteki oleh JMG Vogelsang.

Surat kabar De Indische Courant pada 28 April 1930
memberitakan bahwa peresmian bendungan ini dihadiri Residen Bojonegoro, Kepala Proyek
Solo valley dan Bupati Bojonegoro, masa tersebut.

Ada hal menarik saat peresmian bendungan Sukosewu ini. Pasalnya dalam literasi disebutkan ada doa
bersama dan ritual upacara penyembelihan Kerbau dan penguburan kepala kerbau
disekitar Bendungan.

4. Pasar Kota
Berlokasi bersebelahan dengan alun-alun dan pendopo kabupaten. Tidak ditemukan
literasi yang cukup terkait kapan dan dimana tepatnya letak kompleks pasar kota saat itu.

Namun
sebuah kutipan De Indische Courant menyebutkan tata kota BODJONEGORO yang
maju, diantaranya menyebutkan gedung dewan,rumah pejabat pribumi,alun-alun dan
masjid Jami’.

Surat kabar De Indische Courant terbitan 04-02-1936 memberitakan keramaian perdagangan multi etnis di
pasar kota diantaranya petani dengan etnis Tionghoa, Arab dan Eropa.

5. Stasiun
Stasiun ini mulai beroperasi pada tanggal 1 Maret 1902, sebagai bagian dari pengoperasian
jalur kereta api ruas Bojonegoro–Babat. Pada tanggal 1 Februari 1903, proyek jalur kereta
api Gundih–Gambringan–Bojonegoro–Surabaya NIS yang telah selesai.

Nah, melihat pelbagai kenyataan tersebut, maka adalah hal yang sangat lumrah bahkan wajib bagi para pemangku kekuasaan saat ini untuk melakukan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat luas, bukan demi keuntungan segelintir kelompok atau justru diri sendiri.

Tuh lihat fakta sejarah, penjajah saja membangun infrastruktur karena balas budi dengan politik etis-nya kepada pribumi, masa penguasa yang bukan penjajah kok hanya mengeruk untung pribadi ?? Ya.., isin-isini rombongan dong..!

Penulis : fanani dari pelbagai sumber
Editor : Rahadian Sya’bana

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *